Kamis, 14 Juni 2012

Potret kemiskinan di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sejak tahun 2002, sebuah tim yang terdiri dari para analis Indonesia dan manca negara, dibawah naungan Program Analisa Kemiskinan di Indonesia (INDOPOV) di kantor Bank Dunia Jakarta, telah mempelajari karakteristik kemiskinan di Indonesia. Mereka telah berusaha untuk mengidentifikasikan apa yang bermanfaat dan tidak bermanfaat dalam upaya
pengentasan kemiskinan, dan untuk memperjelas pilihan-pilihan apa saja yang tersedia untuk Pemerintah dan lembaga- lembaga non-pemerintah dalam upaya mereka untuk memperbaiki standar dan kualitas kehidupan masyarakat miskin
Makalah mencoba untuk menganalisa sifat multi-dimensi dari kemiskinan di Indonesia pada saat ini melalui pandangan baru yang didasarkan pada perubahan-perubahan penting yang terjadi di negeri ini selama satu dekade terakhir. Sebelum ini, Bank Dunia telah menyusun Kajian-Kajian Kemiskinan, yaitu pada tahun 1993 dan 2001, namun kajian-kajian tersebut tidak membahas masalah kemiskinan secara mendalam. Kajian ini memaparkan kekayaaan pengetahuan yang dimiliki oleh Bank Dunia dan Pemerintah Indonesia dan penulis berharap bahwa kajian ini akan menjadi sumbangan penting untuk menghangatkan diskusi kebijakan yang ada dan, pada akhirnya akan membawa perubahan dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan upaya-upaya pengentasan kemiskinan.
Indonesia yang sekarang tentu saja sangat berbeda dari Indonesia satu dekade yang lalu. Maka bukan hal yang mengejutkan apabila strategi-strategi pengentasan kemiskinan telah berubah seiring dengan perubahan yang telah dialami oleh Indonesia oleh karena itu dibuatlah makalah yang berjudul “Pengentasan Kemiskinan” dan penulis sangat berharap bahwa kajian kemiskinan ini dapat menjadi sumbangan berarti dalam menghadapi berbagai tantangan.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang:
  1. Apa pengertian kemiskinan?
  2. Bagaimana cara mengukur kemiskinan?
  3. Apa saja penyebab kemiskinan?
  4. Bagaimana keadaan kemiskinan di Indonesia?
  5. Apa saja yang harus diprioritaskan dalam pengentasan kemiskinan?
1.3 Tujuan Pembahasan
Tujuan makalah ini adalah:
1. Mengetahui pengertian kemiskinan
2. Mengetahui cara mengukur kemiskinan
3. Mengetahui penyebab kemiskinan
4. Mengetahui keadaan kemiskinan di Indonesia
5. Mengetahui apa saja yang harus diprioritaskan dalam pengentasan kemiskinan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kemiskinan
Menurut wikipedia Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah "negara berkembang" biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang "miskin".
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
· Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
· Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
· Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
Sedangkan Kepala Badan Pusat Statistik , Rusman Heriawan mengatakan seseorang dianggap miskin apabila dia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimal. Kebutuhan hidup minimal itu adalah kebutuhan untuk mengkonsumsi makanan dalam takaran 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan minimal non makanan seperti perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi. "Jadi ada kebutuhan makanan dalam kalori dan kebutuhan non makanan dalam rupiah. Kalau rupiahnya yang terakhir adalah Rp 182.636 per orang per bulan," kata Rusman Heriawan kepada BBC. Dengan definisi itu, jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2008 mencapai sekitar 35.000.000 jiwa.
Angka itu merupakan hasil survei sosial ekonomi nasional, Susenas dengan sampel hanya 68.000 rumah tangga, padahal jumlah rumah tangga di Indonesia mencapai 55.000.000. Menurut ahli statistik dari Institut Teknologi Surabaya, Kresnayana Yahya, cara pandang pemerintah terhadap kemiskinan tidak mencerminkan realitas.
"Ada yang tidak diperhitungkan, perusak-perusak kalori. Orang merokok bisa enam sampai tujuh batang. Itu sebenarnya negatif. Dia bisa mengatakan belanjanya sekian, tetapi di dalamnya ada enam-tujuh batang rokok," kata Kresnayana Yahya.
2.2 Mengukur Kemiskinan
Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu kemiskinan absolut dan Kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten , tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Bank dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari, dengan batasan ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $2/hari."Proporsi penduduk negara berkembang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem telah turun dari 28% pada 1990 menjadi 21% pada 2001.Melihat pada periode 1981-2001, persentase dari penduduk dunia yang hidup dibawah garis kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang separuh. Tetapi , nilai dari $1 juga mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut.
Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota dan ghetto yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan nagara kadang-kadang dianggap miskin. Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini biasanya disebut sebagai negara berkembang.
2.3 Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
· penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin;
· penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
· penyebab sub-budaya ("subcultural"), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar;
· penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;
· penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika serikat (negera terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin ; yaitu, orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis kemiskinan.
2.4 Kemiskinan Di Indonesia
Pengentasan kemiskinan tetap merupakan salah satu masalah yang paling mendesak di Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari AS$2-per hari hampir sama dengan jumlah total penduduk yang hidup dengan penghasilan kurang dari AS$2- per hari dari semua negara di kawasan Asia Timur kecuali Cina. Komitmen pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009 yang disusun berdasarkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK). Di samping turut menandatangani Tujuan Pembangunan Milenium (atau Millennium Development Goals) untuk tahun 2015, dalam RPJM-nya pemerintah telah menyusun tujuan-tujuan pokok dalam pengentasan kemiskinan untuk tahun 2009, termasuk target ambisius untuk mengurangi angka kemiskinan dari 18,2 persen pada tahun 2002 menjadi 8,2 persen pada tahun 2009. Walaupun angka kemiskinan nasional mendekati kondisi sebelum krisis, hal ini tetap berarti bahwa sekitar 40 juta orang saat ini hidup di bawah garis kemiskinan. Lagi pula, walaupun Indonesia sekarang merupakan negara berpenghasilan menengah, proporsi penduduk yang hidup dengan penghasilan kurang dari AS$2-per hari sama dengan negara-negara berpenghasilan rendah di kawasan ini, misalnya Vietnam.
Ada tiga ciri yang menonjol dari kemiskinan di Indonesia. Pertama, banyak rumahtangga yang berada di sekitar garis kemiskinan nasional, yang setara dengan PPP AS$1,55-per hari, sehingga banyak penduduk yang meskipun tergolong tidak miskin tetapi rentan terhadap kemiskinan. Kedua, ukuran kemiskinan didasarkan pada pendapatan, sehingga
tidak menggambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orang yang mungkin tidak tergolong (miskin dari segi pendapatan) dapat dikategorikan sebagai miskin atas dasar kurangnya akses terhadap pelayanan dasar serta rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia. Ketiga, mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan
antar daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia.
  1. Banyak penduduk Indonesia rentan terhadap kemiskinan. Angka kemiskinan nasional
sejumlah besar penduduk yang hidup sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional. Hampir 42 persen dari seluruh rakyat
2. Kemiskinan dari segi non-pendapatan adalah masalah yang lebih serius dibandingkandari kemiskinan dari segi pendapatan. Bidang-bidang khusus yang patut diwaspadai adalah:
· Angka gizi buruk (malnutrisi) yang tinggi dan bahkan meningkat pada tahun-tahun terakhir: seperempat anak di bawah usia lima tahun menderita gizi buruk diIndonesia, dengan angka gizi buruk tetap sama dalam tahun- tahun terakhir kendati telah terjadi penurunan angka kemiskinan.
· Kesehatan ibu yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara di kawasan yang sama, angka kematian ibu di Indonesia adalah 307 (untuk 100.000 kelahiran hidup), tiga kali lebih besar dari Vietnam dan enam kali lebih besar dari Cina dan Malaysia hanya sekitar 72 persen persalinan dibantu oleh bidan terlatih.
· Lemahnya hasil pendidikan. Angka melanjutkan dari sekolah dasar ke sekolah menengah masih rendah, khususnya di antara penduduk miskin: di antara kelompok umur 16-18 tahun pada kuintil termiskin, hanya 55 persen yang lulus SMP, sedangkan angka untuk kuintil terkaya adalah 89 persen untuk kohor yang sama.
· Rendahnya akses terhadap air bersih, khususnya di antara penduduk miskin. Untuk kuintil paling rendah, hanya 48 persen yang memiliki akses air bersih di daerah pedesaan, sedangkan untuk perkotaan, 78 persen.
· Akses terhadap sanitasi merupakan masalah sangat penting. Delapan puluh persenpenduduk miskin di pedesaan dan 59 persen penduduk miskin di perkotaan tidak memiliki akses terhadap tangki septik, sementara itu hanya kurang dari satu persen dari seluruh penduduk Indonesia yang terlayani oleh saluran pembuangan kotoran berpipa.
3. Perbedaan antar daerah yang besar di bidang kemiskinan. Keragaman antar daerah merupakan ciri khas Indonesia, di antaranya tercerminkan dengan adanya perbedaan antara daerah pedesaan dan perkotaan. Di pedesaan, terdapat sekitar 57 persen dari orang miskin di Indonesia yang juga seringkali tidak memiliki akses terhadap pelayanan infrastruktur dasar hanya sekitar 50 persen masyarakat miskin di pedesaan mempunyai akses terhadap sumber air
bersih, dibandingkan dengan 80 persen bagi masyarakat miskin di perkotaan. Tetapi yang penting, dengan melintasi kepulauan Indonesia yang sangat luas, akan ditemui perbedaan dalam kantong-kantong kemiskinan di dalam daerah itu sendiri.
2.5 Prioritias Untuk Pengentasan Kemiskinan
Strategi pengentasan kemiskinan yang efektif bagi Indonesia terdiri dari tiga komponen:
  • Membuat Pertumbuhan Ekonomi Bermanfaat bagi Rakyat Miskin
  • Membuat Layanan Sosial Bermanfaat bagi Rakyat Miskin.
  • Membuat Pengeluaran Pemerintah Bermanfaat bagi Rakyat Miskin
Sebagai kesimpulan, masalah kemiskinan Indonesia yang terus ada dan bersifat khas, digabung dengan prioritas pemerintah dan kemampuan fiskal untuk menanganinya, Indonesia saat ini berada dalam posisi untuk meraih kemajuan yang berarti dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Pertanyaannya adalah: dari mana semua harus dimulai?Berbagai tindakan
diperlukan di beberapa bidang untuk menangani empat butir penting dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia yaitu:
  1. mengurangi kemiskinan dari segi pendapatan melalui pertumbuhan
  2. memperkuat kemampuan sumber daya manusia
  3. mengurangi tingkat kerentanan dan risiko di antara rumah tangga miskin, dan
  4. memperkuat kerangka kelembagaan untuk melakukannya dan membuat kebijakan publik lebih memihak masyarakat miskin.
Mengingat ke-empat butir tersebut di atas, maka ada 16 tindakan berikut merupakan prioritas untuk dilakukan dengan segera. Ke 16 tindakan itu yaitu:
1) Hapuskan larangan impor beras.
2) Lakukan investasi di bidang pendidikan dengan fokus pada perbaikan akses dan keterjangkauan sekolah menengah serta pelatihan ketrampilan bagi masyarakat miskin, sambil terus meningkatkan mutu dan efisiensi sekolah dasar.
3) Lakukan investasi di bidang kesehatan dengan fokus pada perbaikan mutu layanan kesehatan dasar (oleh pemerintah dan swasta) dan akses yang lebih baik ke layanan kesehatan.
4) Suatu upaya khusus diperlukan untuk menangani angka kematian ibu yang sangat tinggi di Indonesia.
5) Perbaiki mutu air bagi masyarakat miskin dengan menggunakan strategi berbeda antara daerah pedesaan dengan perkotaan.
6) Tangani krisis sanitasi yang dihadapi Indonesia dan masyarakat miskinnya.
7) Luncurkan program berskala besar untuk melakukan investasi pembangunan jalandesa.
8) Perluas (sampai tingkat nasional) pendekatan pembangunan berbasis masyarakat (CDD) Indonesia yang sukses.
9) Pengembangan secara utuh sistem jaminan sosial komprehensif yang mampu menangani risiko dan kerentanan yang dihadapi oleh masyarakat miskin dan hampir miskin.
10) Revitalisasi pertanian melalui investasi di bidang infrastruktur dan membangun kembali riset dan penyuluhan.
11) Memperlancar sertifikasi tanah dan memanfaatkan kembali tanah gundul dan tidak subur untuk penggunaan yang produktif.
12) Membuat peraturan ketenagakerjaan yang lebih fleksibel.
13) Perluas jangkauan layanan keuangan bagi masyarakat miskin dan tingkatkan akses usaha mikro dan kecil ke pinjaman komersial.
14) Perbaiki fokus kepada kemiskinan dalam perencanaan dan penganggaran di tingkat nasional untuk penyediaan layanan.
15) Jalankan program pengembangan kapasitas untuk meningkatkan kapasitaspemerintah daerah dalam merencanakan, menganggarkan dan melaksanakanprogram pengentasan kemiskinan.
16) Perkuat monitoring dan kajian terhadap program kemiskinan.
BAB III
KESIMPULAN
Masalah kemiskinan di manapun adalah masalah yang sangat sulit untuk diselesaikan. Berikut ada 16 cara yang dapat dilakukan untuk mengentasakan kemiskinan tersebut yaitu:
1) Hapuskan larangan impor beras.
2) Lakukan investasi di bidang pendidikan dengan fokus pada perbaikan akses dan keterjangkauan sekolah menengah serta pelatihan ketrampilan bagi masyarakat miskin, sambil terus meningkatkan mutu dan efisiensi sekolah dasar.
3) Lakukan investasi di bidang kesehatan dengan fokus pada perbaikan mutu layanan kesehatan dasar (oleh pemerintah dan swasta) dan akses yang lebih baik ke layanan kesehatan.
4) Suatu upaya khusus diperlukan untuk menangani angka kematian ibu yang sangat tinggi di Indonesia.
5) Perbaiki mutu air bagi masyarakat miskin dengan menggunakan strategi berbeda antara daerah pedesaan dengan perkotaan.
6) Tangani krisis sanitasi yang dihadapi Indonesia dan masyarakat miskinnya.
7) Luncurkan program berskala besar untuk melakukan investasi pembangunan jalan desa.
8) Perluas (sampai tingkat nasional) pendekatan pembangunan berbasis masyarakat (CDD) Indonesia yang sukses.
9) Pengembangan secara utuh sistem jaminan sosial komprehensif yang mampu menangani risiko dan kerentanan yang dihadapi oleh masyarakat miskin dan hampir miskin.
10) Revitalisasi pertanian melalui investasi di bidang infrastruktur dan membangun kembali riset dan penyuluhan.
11) Memperlancar sertifikasi tanah dan memanfaatkan kembali tanah gundul dan tidak subur untuk penggunaan yang produktif.
12) Membuat peraturan ketenagakerjaan yang lebih fleksibel.
13) Perluas jangkauan layanan keuangan bagi masyarakat miskin dan tingkatkan akses usaha mikro dan kecil ke pinjaman komersial.
14) Perbaiki fokus kepada kemiskinan dalam perencanaan dan penganggaran di tingkat nasional untuk penyediaan layanan.
15) Jalankan program pengembangan kapasitas untuk meningkatkan kapasitas pemerintahdaerah dalam merencanakan, menganggarkan dan melaksanakan program pengentasankemiskinan.
16) Perkuat monitoring dan kajian terhadap program kemiskinan.
BAB IV
STUDY KASUS
4.1 Banyak Program, Namun Kemiskinan Tetap Tinggi
Ketika program subsidi langsung tunai (SLT) berakhir, banyak yang menduga angka kemiskinan meningkat di 2007. Bank Dunia, misalnya, pada laporan World Bank East Asia Update yang dilansir November 2006, memperkirakan angka kemiskinan tahun depan akan meningkat setelah berakhirnya program SLT.
"Program Subsidi Tunai Bersyarat yang akan dimulai tahun depan akan terlalu kecil untuk meredam dampak berakhirnya SLT," kata laporan itu.
Kajian Tim Indonesia Bangkit lebih kritis lagi. Gabungan pengamat ekonomi di tim itu menilai angka kemiskinan pasti meningkat di tahun ini mengingat daya beli rakyat yang terus merosot. Lalu karena berakhirnya SLT, dan tak terkendalinya harga kebutuhan pokok seperti kenaikan harga beras dan minyak goreng serta banjir di beberapa daerah.
"Angka kemiskinan hanya akan turun dengan dua kemungkinan, melakukan perubahan dan rekayasa metodologi perhitungan. Kedua, melakukan perubahan atau pembersihan sampel data, yang merupakan cara yang sangat vulgar dan manipulatif serta sangat memalukan baik secara moral maupun intelektual," tutur pengamat ekonomi Imam Sugema. Namun, di luar dugaan angka kemiskinan justru turun 2,13 juta orang dari tahun lalu. Dengan perubahan garis kemiskinan dari Rp 151.997 per kapita per bulan menjadi Rp 166.697 per kapita per bulan. Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi garis kemiskinan karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, kenaikan pendapatan masyarakat yang berada di garis kemiskinan itu meningkat dibandingkan kenaikan harga bahan pokok. Di samping itu, walau harga beras naik, namun diimbangi dengan digelontorkannya program beras bagi masyarakat miskin. BPS menilai walau pun SLT berakhir tetapi banyak penduduk miskin yang dapat menggunakan duit yang berasal dari SLT untuk bekerja informal. Terkait kemiskinan ini, analisa Bank Dunia menunjukkan, perbedaan antara orang miskin dan yang hampir miskin di Indonesia sangat kecil.
Kerentanan untuk jatuh miskin sangat tinggi di Indonesia. Bank Dunia menyebutkan, ada tiga ciri menonjol dari kemiskinan di Indonesia. Pertama, banyak rumah tangga yang berada di sekitar garis kemiskinan yang setara dengan pendapatan perkapita US$ 1,55 per hari. Sehingga banyak penduduk yang meskipun tergolong tidak miskin, rentan terhadap kemiskinan.
Kedua, ukuran kemiskinan didasarkan pada pendapatan sehingga tidak menggambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orang yang mungkin tidak tergolong miskin dari segi pendapatan, tapi dikategorikan sebagai miskin atas dasar kurangnya akses terhadap pelayanan dasar. Serta rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia.
Ketiga, mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antar daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia.
Sedangkan dana yang dikucurkan untuk program kemiskinan, dinilai tidak menyentuh langsung ke permasalahan kemiskinan. Anggaran kemiskinan sebesar Rp 54 triliun di 2007 dan Rp 62 triliun di 2008, menurut Imam Sugema, dari nilai Rp 54 triliun itu yang langsung bersentuhan dengan kemiskinan hanya Rp 5 triliun. Meski demikian, walau dari sisi statistik kemiskinan di Indonesia turun, tetapi kenyataannya, kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan miskin di Indonesia masih tajam.
Besarnya jumlah penduduk miskin itu, karena masih besarnya angka pengangguran di Indonesia. Tidak terserapnya angkatan kerja, memang disebabkan lambatnya laju ekspansi sektor usaha. Data BPS menunjukkan, jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2007 mencapai 108,13 juta orang atau bertambah 174 juta orang dibanding angkatan kerja Agustus 2006 yang tercatat 106,39 juta. Dari penambahan angkatan kerja itu, jumlah penduduk Indonesia yang bekerja pada Februari tahun ini mencapai 97,58 juta orang. Dengan begitu, jumlah pengangguran di Indonesia masih mencapai 10,55 juta orang hingga Februari 2007.
Bagaimana pun juga, jika pemerintah masih belum mampu menggerakkan sektor riil, maka pengangguran masih akan membengkak karena angkatan kerja terus bermunculan dan jumlah penduduk yang belum bisa diatasi seperti terlihat pada data periode Maret 2006 populasi penduduk sebesar 221,328 juta orang menjadi 224,177 juta orang di 2007.
Tugas berat bagi pemerintah saat ini maupun pemerintah yang selanjutnya memang mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Tentu kita mengharapkan, pemimpin-pemimpin negara ini tidak lagi terpecah-pecah dengan beragam keinginan partai melainkan menjadi satu untuk bersama-sama mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran ini.
4.2 Pemerintahan SBY-JK dan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia
Oleh : Bawono Kumoro
10-Des-2008, 22:23:46 WIB - [www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia - Peluang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk memenangkan pemilihan presiden (pilpres) 2009 belum sepenuhnya aman. Peluang SBY untuk terpilih kembali akan aman bila kepuasan publik terhadap kinerjanya berada di atas 60%. Sebaliknya, SBY akan sangat mungkin dikalahkan jika kepuasan publik atas kinerja pemerintahannya berada di bawah 50%.
Demikian hasil survei terbaru Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan pada tanggal 8-20 September 2008. Survei ini melibatkan 1.239 responden dengan toleransi kesalahan 2,8% pada tingkat kepercayaan 95%. Sulit dipungkiri bahwa peluang SBY pada pilpres 2009 sangat bergantung pada kinerja pemerintahannya di bidang ekonomi, terutama soal pengentasan kemiskinan.
Dua Paradigma
Ada semacam kesepakatan luas, jika pengentasan kemiskinan menjadi motif utama dari kebijakan pembangunan, maka pengadaan dan peningkatan penghasilan orang miskin menjadi tujuan terpenting seluruh kegiatan. Namun, dalam kaitan itu, ada dua paradigma berbeda tentang cara pencapaiannya.
è Pertama, keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah obat paling mujarab untuk mengentaskan kemiskinan karena akan menyerap banyak tenaga kerja. Namun, realitas empiris menunjukkan hal yang sebaliknya. Hal itu tak lain disebabkan oleh maraknya cara berproduksi padat modal dan hemat tenaga kerja.è Kedua, keyakinan bahwa orang miskin harus dibantu untuk mendapatkan penghasilan. Sektor usaha kecil dan menengah (UKM) pun diyakini sebagai sendi utama perekonomian rakyat. Asumsinya ialah ketika persamaan kesempatan dengan usaha padat modal tersedia, maka usaha kecil menengah dipercaya akan mampu meningkatkan investasi, pengembangan usaha, dan penghasilan. Sayangnya, sebagimana paradigma pertama, belum ditemukan bukti-bukti empiris yang menyakinkan guna mendukung kebenaran asumsi tersebut. Berpijak dari kedua paradigma di atas, agaknya memang tidak ada resep instan yang dapat dijadikan sebagai sebuah pegangan pasti dalam kebijakan pengentasan kemiskinan.
Empat Acuan
Meskipun demikian, penulis berpandangan ada beberapa hal yang dapat dijadikan acuan bagi pemerintahan SBY-JK guna memaksimalkan upaya pengetasan kemiskinan dalam sisa satu tahun masa pemerintahannya.
à Pertama, pengetasan kemiskinan lewat pengadaan lapangan kerja harus sangat mempertimbangkan tingkat pengembangan industri dan integrasi sebuah negara di pasar dunia. Negara seperti Indonesia yang tingkat pertumbuhan industrinya belum maju dan sektor informalnya masih sangat mendominasi, perlu mempertimbangkan strategi yang pas. Hasrat untuk mampu bersaing dalam pasar global selayaknya diimbangi dengan berbagai upaya untuk mendukung usaha kecil sebagai basis industrialisasi.à Kedua, negara berkembang dengan potensi pasar yang luas seperti Indonesia sangat rentan diintervensi oleh lembaga-lembaga keuangan internasional (baca: World Trade Organization, International Monetary Fund, dan World Bank) serta negara-negara industri maju untuk membuka pasarnya dan menghilangkan subsidi. Jika permintaan itu dipenuhi, maka tidak pelak lagi akan berdampak pada anjloknya tingkat upah pekerja yang selanjutnya potensial berujung pada meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK). Itu berarti jumlah orang miskin di Indonesia akan semakin bertambah banyak.à Ketiga, kesempatan yang sama harus diberikan dalam persaingan antara usaha kecil dan menengah padat modal maupun antar usaha kecil itu sendiri. Pemberian kesempatan yang sama tersebut tentunya harus diimplementasikan lewat berbagai kebijakan dan regulasi.à Keempat, pemetaan masalah dan potensi sebuah negara serta strategi pembangunan yang spesifik hanya akan dapat diterima luas jika hal tersebut dilakukan dengan melibatkan seluruh lapisan sosial ekonomi masyarakat, terutama kaum tak berpunya. Jadi, tak hanya melibatkan para pengusaha atau kaum berpunya saja. Dengan mengacu pada empat hal di atas, dalam kaitan perumusan kebijakan pengetasan kemiskinan, maka Indonesia diharapkan dapat mencapai salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs), yaitu mengurangi separuh jumlah penduduk miskin. MDGs merupakan proyek kemanusiaan yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) selama kurun waktu lima belas tahun (2000-2015). MDGs disepakati oleh seluruh anggota PBB, termasuk Indonesia. Dengan demikian hanya tujuh tahun sisa waktu yang dimiliki oleh Indonesia untuk mengurangi separuh jumlah penduduk miskin.
4.3 Ketika Pengentasan Kemiskinan Hanya Komoditas Politik
Written by Redaksi Web Tuesday, 24 March 2009 14:07
Oleh: Yusnita H SH
Kampanye terbuka Pemilu 2009 akan dimulai pertengahan bulan ini setelah sejak beberapa bulan lalu hanya bisa dilakukan dengan kampanye terbatas dalam bentuk pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, media massa cetak dan elektronik, serta penyebaran bahan kampanye dan alat peraga di tempat umum (UU No. 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD).
Dalam kampanye ini, sebanyak 38 partai yang resmi mengikuti pemilu secara nasional sudah mulai menawarkan dagangannya, dan salah satu yang terlaris adalah kemiskinan. (Angka) kemiskinan akan menjadi dagangan, baik itu untuk memoles lapak sendiri, yakni dengan menawarkan program, janji, tentang penyelesaian problem kemiskinan. Selain itu, tak lupa menunjuk atau bahkan menjelekkan dagangan orang lain, dalam rupa mengritik, mengoreksi, dan mencela rezim sebelumnya serta partai saingan saat ini, dalam hal program sejenis.
Genealogi Pemberantasan Kemiskinan
Menurut Frances Fox Piven dan Richard A Cloward (Regulating the Poor: The Functions of Public Welfare, Vintage Books 1993), kemiskinan meliputi tiga aspek (1) kekurangan materi dan kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan; (2) tidak terpenuhinya kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat, termasuk dalam pendidikan dan informasi; dan (3) kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda, tergantung konteks politik dan ekonomi suatu negara
Kemiskinan jamak terjadi di negara berkembang, namun eksis pula di negara maju dalam bentuk komunitas tunawisma dan ghetto (daerah kumuh). Di Indonesia sendiri, menurut data Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (dibentuk tahun 2005 melalui Perpres Nomor 54, lihat www.tkpkri.org), Pemerintah telah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan sejak tahun 1960-an melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat yang tertuang dalam Pembangunan Nasional Berencana Delapan Tahun (Penasbede). Namun program tersebut terhenti di tengah jalan akibat krisis politik tahun 1965. Adapun pada era Orba, melalui Repelita dilakukan strategi khusus menuntaskan masalah kesenjangan sosial-ekonomi, yang mengerucut menjadi program Inpres Desa Tertinggal ( IDT). Namun, usaha Orba ini pun gagal akibat krisis ekonomi dan politik tahun 1997.
Selanjutnya, era reformasi menelurkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) Keppres Nomor 190 Tahun 1998. Berbagai usaha di atas belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Data UNDP menyebutkan, Indeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index-HPI) yang memfokuskan perhatiannya pada proporsi manusia yang berada di bawah ambang batas dimensi pembangunan manusia yang sama dengan indeks pembangunan manusia-panjang umur dan hidup sehat, memiliki akses terhadap pendidikan, dan standar hidup yang layak, menyimpulkan Nilai HP-1 untuk Indonesia, yaitu 18,5, berada di urutan 41 dari 102 negara berkembang (data tahun 2005). Indeks ini semakin buruk dalam krisis energi dan pangan saat ini, ketika harga melonjak dan membuat pemenuhan kebutuhan dasar (pangan, pendidikan, kesehatan) semakin tak terjangkau
Logika Iklan Kampanye vs Marhaenisme
Sebagai sebuah kondisi laten dalam denyut nadi bangsa, kemiskinan akan tetap menjadi perhatian semua stakeholder, khususnya terkait kampanye Pemilu 2009. Pemahaman terhadap kondisi objektif kemiskinan, ditambah data-data dan fakta, serta diolah dengan logika-kreatif iklan akan menghasilkan "dagangan" yang dibungkus indah dalam retorika dan advertensi.
Lihat saja kampanye beberapa tokoh yang sejak beberapa saat lalu sudah berseliweran di media elektronik. Prabowo misalnya, mewacanakan kemiskinan untuk disikapi dengan usaha produktif dan pemberdayaan masyarakat kecil (petani), dengan "mari kita beli bahan pangan bergizi dari petani kita...", sehingga "macan Asia (Indonesia-pen) akan mengaum kembali". Sedangkan Wiranto, sempat menimbulkan kegerahan politik dengan kritikan pedasnya terhadap rezim SBY soal janji tidak akan menaikkan harga BBM. Lagi-lagi anchor point-nya adalah persoalan kemiskinan, yakni jangan bebani rakyat yang sudah miskin dengan kebijakan yang tidak populer dan memperparah keadaan.
Logika iklan adalah bagaimana menjadikan dagangan laku terjual, dengan segala cara. Jamak terjadi, iklan mempergunakan data-fakta secara berlebihan dan melenceng, mengecoh, mengelabui, dan bahkan menipu konsumen. Seperti diungkap oleh Vilhjalmur Stefansson (Discovery, 1964), "What is the difference between unethical and ethical advertising? Unethical advertising uses falsehoods to deceive the public; ethical advertising uses truth to deceive the public", yakni, setiap iklan akan menggunakan kebenaran ataupun kekeliruan untuk mengelabui public.
Yang perlu kita waspadai adalah penyesatan publik lewat tema kemiskinan ini, memoles janji untuk memikat suara rakyat. Padahal, kita sudah kenyang dengan pengalaman sulitnya menagih janji yang terucap dalam kampanye. Kepedulian pada orang miskin hanya temporer, dangkal, dan semu.
Belum ada upaya menggodok gagasan pemberantasan kemiskinan ini menjadi sesuatu yang heroik namun realistis, seperti halnya ketika Sukarno berjumpa dengan petani miskin Pak Marhaen, yang menghasilkan marhaenisme yang secara ideologis-praksis digunakan untuk menyemangati rakyat agar mandiri.
Mengaudit Program Anti-Kemiskinan dan Peran Masyarakat Sipil
Pemilu 2009 akan mengantar berkuasanya sebuah rezim, merupakan panggung pembuktian janji dan pelaksanaan konsep serta program kerja. Entah apapun bentuknya, dan lembaga apa yang bakal melaksanakan program pro-kemiskinan, yang terpenting bagi rakyat adalah transparansi dan audit progress apa yang telah tercapai. Oleh karenanya, lembaga pelaksana program ini musti independen (seperti halnya KPK), sehingga bebas dari tekanan pemerintah maupun oposan, namun merengkuh semua pihak untuk berperan-serta. Berbagai program tersebut, selain up-bottom, juga meniscayakan gerakan bottom-up yang memberdayakan masyarakat sipil untuk mengangkat diri sendiri.
Terakhir, berikut beberapa entry-point yang bisa menjadi panduan bagi semua stakeholder dalam program pro-kemiskinan: (1) revitalisasi dan rejuvenasi program pro-kemiskinan di era lalu yang mempunyai nilai positif, seperti kelompok tani & nelayan (menggalang kemandirian dan self-learning); (2) penguatan social security system (Jaring Pengaman Sosial), yakni harus ditingkatkan hingga jaminan penuh terhadap kebutuhan dasar, dan dilengkapi dengan penyediaan lapangan kerja dasar (pemberian "kail" dan "umpan"); (3) kemandirian ekonomi rakyat berupa koperasi yang kuat dan akuntabel; (4) proyek padat karya, terutama untuk infrastruktur, dengan fokus daerah terpencil dan luar Jawa, yang dilaksanakan secara terencana dan akuntabel; (5) peran kelas menengah dan UKMM, yang perlu ditopang dengan kebijakan yang pro-rakyat, guna menyerap lebih banyak lagi lapangan kerja; (6) gerakan berdikari, mencukupi sendiri dengan produk dalam negeri, ekspor barang jadi yang bernilai tambah, dan pendayagunaan local genius secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar